Aku adalah anak yang terlahir
dari seorang ayah kholeris sejati, dan ibu yang melankolis-sanguinis. Aku
adalah perpaduan kekakuan sempurna dan inferiotas. Ayah adalah seorang yang
sangat otoriter, bahkan konon kata ibu, saat aku lahir, dalam beberapa waktu ayah
sudah datang bawa akta kelahiran, tidak ada sebelumnya perundingan dengan ibu
atau sekedar pertanyaan, “nanti anak kita mau dikasih nama siapa ?” , ayah
adalah sosok yang susah dinasehati, kecuali oleh beberapa orang saja, yakni
adiknya dan anaknya. Selain itu, hampir
tidak ada yang bisa merubah keputusanya dan siap berhadapan dengan siapa saja
sekalipun itu adalah orang yang lebih tua, sekalipun itu kakak kandungnya,
sekalipun itu mertuanya, who cares. Dia tidak menyukai kesalahan, sangat marah
melihat kecerobohan dan paling tidak suka melihat ketidakberdayaan dan sekali
lagi, hanya ada dua yang bisa lolos dari ketidaksukaanya, yakni kesalahan yang
dilakukan oleh anak-anaknya atau oleh adiknya. Sedangkan ibuku adalah karakter
yang benar benar penyabar namun justru kadang itu membuatnya terlihat inferior,
dan berdampak pula ketika di kehidupan bermasyarakat, sering menjadi bagian
dari keputusan. Disatu sisi, Ibu adalah sosok peredam konflik ditengah
otoriteritas sosok ayah. Saat aku kecil, entah sudah berapa kali aku melihat
konflik. Dan lambat tapi pasti, semua cerita masa kecil akan berdampak terhadap
karakter seseorang. Lambat laun, sosok ayah yang begitu kaku dan otoriter mulai
berubah sekalipun garis garis sifatnya sesekali masih nampak jelas. Lambat laun
pula, Alhamdulillah hidayah dari Allah perlahan lahan masuk, meskipun sampai
saat ini belum bisa membaca Qur’an, tapi ayah mulai menyukai kajian-kajian yang
didengarnya setiap sore di radio. Banyak perubahan yang dialami ayah sejak aku
masuk ke fakultas kedokteran dan mulai mengerti islam.
Sifat kholeris dan melankolis aku pelajari dengan baik dari kedua orang tuaku. Ketika kecil, sifat kholerisku begitu dominan, namun smp dan sma, sifat melankolislah yang tumbuh subur. Mungkin karena lingkungan, dominansi sosok kholeris lain, atau mungkin diusia tersebut aku terlalu banyak menyaksikan sifat melankolis dari ibuku. Sifat melankolis akan hidup ketika ia mendapat pengaruh. Ia menghayati peristiwa disekitarnya, lalu larut didalamnya. Melankolis sangat sulit menciptakan arus justru dialah yang membutuhkan arus. Ia dengan mudah termotivasi dan mencoba menghayati film yang ditontonya, novel yang dibacanya atau doktrin orang lain yang dia percayai. Harus diakui, melankolis lebih mengutamakan emosi dari jiwanya. Di awal awal kuliah, sifat itupun masih dominan. Salah satu kebaikan melankolis adalah sosoknya yang mudah dimotivasi. Beruntunglah dia ketika bersama orang baik, karena insya Allah dia akan mudah menerima kebaikan (disamping hidayah dari Allah tentunya), namun berbahaya ketika dia bersama orang jahat karena ia dengan mudah mengikuti arus kejahatan.
Akhir-akhir ini, sifat melankolisku mulai meredup, dan nampaknya karakter kholeris mulai tumbuh, seiring dengan lingkungan yang menuntut untuk memainkan karakter kholeris. Aku mulai tidak terlalu peduli dengan penghayatan akan stimulus-stimulus emosional. Di titik ini, mulai aku harus menciptakan arusku sendiri setidaknya untuk konsumsi diriku sendiri. Satu-satunya sarana untuk menjaga melankolis adalah menulis, termasuk pula tulisan ini. Sekalipun kholeris mungkin nampak mengagumkan, namun pada hakikatnya dia akan mati ketika ia tidak menemukan objek melankolis sebagai tempatnya untuk menumpahkan arus kholerisnya. Dan ketika dia bertemu kholeris lain, sudah pasti ketika beda arah akan terjadi konflik besar. Berbeda ketika melankolis bertemu melankolis yang berseberangan.
Ketika diminta untuk memberikan presentase antara melankolis berbanding dengan kholeris maka bagiku, aku adalah 60 % melankolis dan 40 % kholeris.
Di balik sifat ayah dan ibu, aku belajar sangat banyak, tentang apa apa yang harus aku ambil dari keduanya dan apa-apa yang harus aku hindari dari keduanya. Pada akhirnya menyadari, bahwa bisa jadi setiap orang akan lahir dengan karakter masing-masing. Namun ilmu akan mengarahkannya. Ilmu pula yang dapat membuat seseorang memiliki pseudokarakter. Dia bisa menutupi kekurangan karakter aslinya, dan memaksimalkan kelebihan karakter aslinya. Sifat otoriteritas ayah pada akhirnya mulai terarah dengan hadirnya ilmu begitupula sifat inferioritas ibu yang mulai menghilang dengan hadirnya ilmu. Aku bersyukur menjadi anak dari seorang kholeris dan melankolis-sanguinis. Semoga bisa segera memberikan yang terbaik untuk kalian wahai ayah dan ibu. Terutama untuk ibu, semoga pula bisa mengajari akhlak akhlak muslimah yang sesunguhnya yang aku tidak bisa ajarkan karena sedikitnya pengetahuanku tentang itu, namun aku berjanji akan semoga bisa mengajarkannya melalui wanita sholehah disampingku kelak . Robbi auzi’ni an asykuro ni’matakallatii anamta ‘alayya, wa ‘ala waalidayya, wa an a’mala shoolihan tardzoohu wa adkhilni bi rohmatika fii ‘ibaadikasshoolikhiin
Sukoharjo, 4 Maret 2016.