Senin, 23 Mei 2016

Reafirmasi Kembali Status Khalifah Fil Ard Sebagai Upaya Reposisi Eksistensi Peradaban Islam di Dunia


Oleh : Nanda E.S Sejati


Sebelum manusia ada, Allah SWT telah menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk mahluk-mahlukNya dari golongan malaikat dan jin. Merekalah yang mendiami serta merawat bumi sebelum Allah menggantinya dengan manusia sebagai khalifah yang baru (khalifah fil ard) sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 30.1

Allah SWT menciptakan manusia dari sesuatu yang sama sekali berbeda dari material penciptaan malaikat dan jin, yakni  dari shalsal (tanah liat kering) yang dibentuk dalam keaadaan paling baik (QS Al-Hijr : 26 dan QS At-Tin : 4). Sejak awal, Allah SWT telah menganugerahi maqam yang spesial kepada manusia diantara mahlukNya yang lain. Allah SWT telah  mengajarkan kepada Adam sesuatu yang tidak diajarkan kepada malaikat sebagaimana dijelaskan di surat Al-Baqarah ayat 31, “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang yang benar.”  Allah SWT juga memerintahkan kepada seluruh mahluk-Nya yang ada dilangit maupun di bumi untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan atasnya sekaligus bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT. 1
           
Dari gambaran sejarah penciptaanya tersebut, kita dapat menarik sebuah pernyataan bahwa manusia memang telah diberikan potensi yang sangat besar baik berupa fisik maupun akal yang menunjang mereka untuk mengelola bumi dengan baik. Manusialah mahluk yang diijinkan oleh Allah SWT untuk melakukan perubahan-perubahan besar yang tidak mampu dilakukan oleh mahluk lain. Menurut para ahli geologi dan klimatologi, saat awal-awal peradaban manusia mulai terbentuk, iklim di bumi ini masih sangat ekstrem. Transisi iklim masih belum stabil sehingga manusia harus berjuang keras untuk mempertahankan eksistensi mereka agar tidak punah.2 Proses adaptasi tersebut bahkan tidak hanya terjadi melalui perubahan lingkungan eksternal saja namun juga terjadi secara internal dalam tubuh manusia atau dalam terminologi kedokteran oleh Claude Bernard disebut sebagai interieur mileu, yakni sebuah frase yang didefinisikan sebagai lingkungan internal dimana sel-sel tubuh dapat hidup dan terjaga dalam sebuah equilibilitas.3 Manusia mampu bertahan karena adaptasi fisiologis menakjubkan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melaui berbagai mekanisme yang kompleks dari tatanan organ hingga tahapan molekuler via ekspresi dan represi gen yang sangat rumit. Kontinyuitas adaptasi manusia di semua aspeknya ini pada akhirnya mampu menghasilkan sebuah transformasi luar biasa sejak dari awal munculnya episode manusia di bumi sampai kehidupan modern seperti sekarang. Inilah inner power potensi manusia yang tidak dikaruniakan Allah kepada mahluk apapun selain keturunan Bani Adam.

Allah SWT sangat mengetahui hakikat potensi yang terpendam dalam diri manusia tersebut, dan bahkan melalui firmanNya dalam surah Ar-Rahman ayat 45 Allah mengizinkan manusia untuk melintasi penjuru langit dan bumi apabila mereka mengerahkan segenap daya dan upaya mereka. Ketika ayat tersebut diturunkan, melintasi penjuru langit adalah gagasan yang hampir mustahil diwujudkan manusia pada periode itu. Namun, barulah ayat ini terjawab  14 abad kemudian seiring dengan kekuatan manusia yang terus berkembang lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.

Potensi manusia yang terus tumbuh menguat  ini kemudian membawa sebuah implikasi signifikan terhadap arah perjalanan peradaban-peradaban di dunia. Semakin kuat peradaban, semakin besar pula pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan dan determinasinya terhadap peradaban lain. Kita harus jujur mengakui bahwa saat ini dominasi peradaban barat begitu kuat menginfiltrasi hampir di setiap sendi-sendi kehidupan tanpa terkecuali, termasuk terhadap umat islam. Fakta ini sekaligus menjadi sebuah dilema untuk kita semua sebagai umat islam karena langsung maupun tidak langsung, ekses higemoni peradaban barat ini akan membuat umat islam seolah nampak inferior dilingkup pertarungan ideologi-ideologi dunia. Dalam konteks surah Ar-Rahman ayat 45 misalnya, tantangan dari Allah di dalam Al-Qur’an justru dijawab oleh kaum yang belum pernah membaca ayat tersebut di dalam Qur’an. Sekalipun memang ayat itu berlaku universalitasnya, namun seolah-olah ini menjadi pertanyaan besar, dimana posisi umat islam ?

Jika kita menilik kembali sejarah peradaban islam, sepertinya baru kemarin islam ini memengang kendali peradaban dunia. Puncaknya adalah di pertengahan abad ke 8 hingga abad  11 ketika Kota Baghdad menjadi poros keilmuwan internasional. Teori astronomi, kedokteran, fisika, kimia, matematika  banyak dilahirkan dari kalangan ulama yang sekaligus seorang ilmuwan di masanya. Ditangan mereka,  konsep-konsep ilmu Yunani kuno direformulasikan kembali menjadi produk ilmu yang konkrit dan bersih dari unsur-unsur mistis.4 Praktis, eksistensi mereka (cendikiawan muslim) menggeser paradigma ilmu pengetahuan masyarakat dunia saat itu dari Yunani menjadi Islam. Mereka sukses melakukan  civilization shifting.

Pasca serangan radikal bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan terhadap kekhilafahan Al-Mu’tasim di kota Baghdad tahun 1258 , islam kehilangan sebagian besar kitab-kitab rujukan penting di bidang ilmu pengetahuan.5 Akibatnya, peradaban islam mulai mengalami deselerasi. Sementara disisi lain, peradaban barat mulai hidup kembali hingga mencapai puncaknya ketika terjadi revolusi pemikiran besar-besaran yang dimulai sekitar abad 14 dalam periode yang disebut oleh sejarah sebagai Renaisans. Periode ini sekaligus merupakan awal dimulainya ekspansi bangsa barat yang kemudian bertransformasi menjadi imperialisme dan kolonialisme barat atas bangsa lain di dunia. Sejak saat itu, peradaban barat mendominasi kultur peradaban dunia dengan imperalisme sebagai instrumenya.6 Standardisasi peradaban-pun mulai dilakukan dengan nilai -nilai barat sebagai parameternya.  Peradaban barat sendiri adalah peradaban yang terbentuk melalui filosofi dan kesepakatan nilai. Pasca Renaisans, nilai-nilai gereja bukan menjadi rujukan utama. Mulailah terjadi dikotomi antara negara dan gereja. Dari sini, mulai muncul benih-benih sekuler yang kemudian menular ke semua tatanan kehidupan. Liberalisasi nilai-nilai semakin masif terjadi. Perlahan pemahaman materialistik, humanistik mulai menjadi tolok ukur dalam bersikap termasuk di kalangan umat islam sendiri. Transformasi pemerintahan Turki Ustmani dari kekhilafahan menjadi Republik Turki semakin mengukuhkan nilai-nilai sekuler di dunia islam . Inilah tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh peradaban islam saat ini, Bagaimanapun juga, nilai sekuler tidak akan pernah bisa disinkretisasi dengan nilai-nilai islam.

Kembali tegaknya peradaban islam sebenarnya bukanlah sebuah utopis yang hanya menjadi romantika belaka. Rasulullah SAW telah menegaskan dalam salah satu hadistnya. Beliau SAW  bersabda, “Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudia Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (kekhilafahan yang sesuai manhaj nabi) selama beberapa masa, hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode Mulkan aadhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode Mulkan jabariyah (penguasa-penguasa yang memaksa / diktator) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Kemudian beliau diam”.7 Hadist tersebut sangat terang menggambarkan bahwa kembalinya peradaban islam adalah sebuah keniscayaan. Maka tugas besar setiap muslim yang beriman kepada Allah dan Rasulnya adalah mengerahkan segenap daya upaya untuk mewujudkan cita-cita itu melalui lini apapun yang bisa membawa kepada visi tersebut.

Sejak awal pertumbuhanya, umat islam memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai hidup. Semua unsur pembentuk peradaban islam tidak lain berasal dari sumber original islam itu sendiri yakni Al-qur’an dan Sunnah. Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk meniru filosofi hidup kaum lain mulai  dari urusan kecil seperti perihal jenggot dan kumis hingga hukum tatanegara. Piagam madinah adalah cerminan betapa Rasul SAW tidak pernah memiliki mindset copycat terhadap kaum lain sekalipun saat itu negara islam madinah baru saja berdiri. Untuk ukuran sebuah pemerintahan, penyusunan undang-undang dasar bukanlah hal yang mudah apalagi tidak ada sumber rujukan undang-undang lain yang digunakan. Inilah prinsip yang dipegang Rasulullah SAW agar umat islam memiliki kepercayaan diri untuk membentuk dirinya sendiri dan menjauhi sikap inferior ataupun mindset copycat. Justru Rasul dengan tegas menghimbau umatnya agar menjauhi segala bentuk tasyabuh atau menyerupai suatu kaum karena ditakutkan akan terjerumus kepada perbuatan mereka yang notabene jauh dari petunjuk Allah SWT. Maka dari sejarah tersebut kita mengetahui bahwa hal utama yang harus dilakukan untuk mewujudkan peradaban islam adalah kembali kepada cara islam dan menjauhi cara yang digunakan oleh barat. Jika nilai peradaban barat didasarkan kepada prinsip materialis dan humanis maka peradaban islam disandarkan kepada nilai yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW yang jauh lebih humanis.

Di era khalifah Umar bin Khattab, islam berkembang dengan cepat dan mendominasi hingga 1/3 total wilayah dunia. Sebuah pencapaian yang menakjubkan untuk ukuran peradaban yang baru berumur kurang dari setengah abad. Peradaban islam berhasil menjadi antithesis atas peradaban Romawi dan Persia yang telah ada sejak ratusan tahun sebelum islam muncul. Sebuah perubahan revolusioner yang hanya bisa dicapai dengan instrumen yang luar biasa. Jika barat menggunakan imperialisme sebagai instrumen peradaban mereka, maka islam datang dengan instrumen anti-imperialisme. Khalifah Umar bin Khattab adalah sosok sahabat yang terkenal memiliki integritas tinggi terhadap nilai-nilai islam yang diwariskan Nabi Muhammad SAW. Ketegasan, kecerdasan, keadilan, dan kesederhanaan terpadu dengan baik di dalam sosok Umar bin Khattab. Bahkan Rasulullah SAW menyematkan gelar Al-Faruq kepada beliau atas sikapnya yang konsisten terhadap implementasi nilai-nilai islam sehingga jelaslah perbedaan antara kebenaran dan keburukan. Sikap ini bertolak belakang dengan apa yang dimiliki oleh para Kisra Persia ataupun Kaisar Romawi. Gelar Amirul Mukminin tidak lantas membuat Umar bertransformasi menjadi raja yang ambisius terhadap dunia. Justru gelar itu, membuat Umar semakin banyak menangis dan bersujud kepada Allah SWT. Berbeda dengan para Kisra dan Kaisar yang semakin kalap dengan kedudukan mulia mereka. Keadilan Umar berlaku atas siapapun baik itu muslim, ahli kitab, ataupun kafir. Umar dengan tegas memerintahkan kepada para gubenurnya agar berlaku adil. Ia berupaya semaksimal mungkin menunaikan hak setiap rakyatnya agar tidak ada satupun manusia terdzalimi dibawah kepemimpinanya. Inilah salah satu rahasia dibalik kemampuan peradaban islam untuk melakukan perubahan yang sangat revolusioner. Umar bin Khattab adalah salah satu sosok nyata yang berhasil dibentuk oleh islam. Maka untuk melahirkan kembali peradaban islam, setiap pemimpin paling tidak harus berupaya memaksimalkan potensi mereka untuk menginternalisasi nilai-nilai islam kedalam diri mereka sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab pasca era jahiliyahnya.

Pilar terakhir sebagai instrumen peradaban islam adalah memaksimalkan potensi umat islam dibidang ilmu pengetahuan. Fakta sejarah menunjukan bahwa peradaban apapun pasti memiliki pondasi ilmu pengetahuan untuk menunjang eksistensinya. Peradaban Mesir kuno misalnya, berhasil menjadi pusat peradaban dunia karena kemajuan ilmu pengetahuan yang dimiliki warganya saat itu. Bahkan Al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang adanya bangsa dengan peradaban yang sangat tinggi di masa lampau seperti bangsa ‘Ad sebagaimana digambarkan dalam surah Al Fajr ayat ke 7 dan 8. Penguasaan ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan bagi umat islam untuk membentuk pondasi peradaban islam karena sesungguhnya pengetahuan itu adalah mutiara hikmah yang terlepas dari umat islam. Sebagai contoh, untuk mengetahui seberapa besar korelasi antara penguasaan ilmu pengetahuan dengan kuatya determinasi peradaban, kita bisa melihat apa yang telah dicapai oleh bangsa China. Perlahan tapi pasti, mulai terjadi transisi di ranah intelektual. Kita bisa melihat saat ini  dominasi para profesor dan doktor berkebangsaan China di universitas-universitas papan atas dunia mulai terlihat. Barang-barang produksi China juga telah menguasai pasar internasional. Secara langsung ataupun tidak langsung, masyarakat global mulai mengakui eksistensi peradaban Negri Tirai Bambu tersebut. Dalam konteks keilmuwan, karena kausanya sudah jelas bahwa setiap ilmu pengetahuan atau hikmah adalah sesuatu yang terlepas dari islam, maka tidak ada salahnya memaksimalkan potensi di bidang ilmu pengetahuan sebagaimana yang dilakukan oleh peradaban-peradaban besar di dunia, termasuk apa yang dilakukan oleh peradaban islam itu sendiri di era abad ke 8 hingga 11.

Inilah yang harus dibangun oleh umat islam untuk mencapai aksioma yang telah Rasulullah SAW sampaikan. Tugas umat ini adalah menjemput aksioma tersebut sebaik-baiknya dan mengupayakan setiap proses untuk menuju ke arah sana. Usaha besar ini sekaligus diharapkan menghasilkan multiefek yang dapat semakin memperkuat posisi umat islam di mata masyarakat dunia. Namun yang pasti, semua yang  umat ini upayakan haruslah terintegrasi dalam satu semangat besar, yakni untuk membawa manusia menuju jalan Allah SWT. Berbekal potensi luar biasa yang secara qodrati telah dimiliki manusia, bukan tidak mungkin peradaban yang diimpikan itu akan terwujud sebentar lagi apabila umat islam bersungguh-sungguh. Wallahu a’lam.

Referensi
1.             Ar-Rifa’i MN. 2011. Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Jakarta : Gema Insani
3.             Britannica.   http://www.britannica.com/science/milieu-interieur
4.             Bassiouni M. 2012. Islamic Civilization. http://www.mei.edu/content/islamic-civilization
5.             Britannica. 2014. http://www.britannica.com/place/Caliphate
6.             Pappas L dan Pappas N. 2013. World History From Renaissance to Imperialism  http://www.shsu.edu/~his_ncp/266LecN.html
7.             Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680.