Oleh : Nanda E.S Sejati
A. Konsepsi Islam Liberal
Pertama, saya ingin mendudukkan posisi saya di awal, bahwa saya bukan seorang pakar agama, saya tidak kuliah di jurusan ushuluddin atau lulusan pondok pesantren. Saya adalah seorang sarjana kedokteran yang kebetulan agak sering bersinggungan dengan agama islam lewat kajian kajian, dan yang pasti adalah karena saya juga seorang yang beragama islam. Karena saya adalah seorang sarjana, maka tulisan ini sebisa mungkin dibuat menggunakan pendekatan pendekatan yang ilmiah.
Pertama, saya ingin mendudukkan posisi saya di awal, bahwa saya bukan seorang pakar agama, saya tidak kuliah di jurusan ushuluddin atau lulusan pondok pesantren. Saya adalah seorang sarjana kedokteran yang kebetulan agak sering bersinggungan dengan agama islam lewat kajian kajian, dan yang pasti adalah karena saya juga seorang yang beragama islam. Karena saya adalah seorang sarjana, maka tulisan ini sebisa mungkin dibuat menggunakan pendekatan pendekatan yang ilmiah.
Liberalisme agama bukanlah sebuah hal baru dalam sudut pandang teologis. Gerakan ini menjadi sangat populer ketika berhasil melatarbelakangi peristiwa Renaisans pada abad pertengahan di Eropa. Gerakan ini semakin menguat sampai saat ini dengan menjadikan Barat sebagai kiblatnya.
Landasan utama pola pemikiran liberal adalah rasionalitas dan humanis. Sehingga tidak jarang, pola pemikiran ini dibawa oleh kaum-kaum intelektual. Ajaran/teori yang bersifat dogmatis harus di uji dengan rasional dan logika berfikir ilmiah. Apabila teori tersebut tidak sesuai dengan konstruksi ilmiah, maka teori tersebut tidak perlu dipakai karena sudah usang. Dalam perspektif ilmu pengetahuan, pola pemikiran seperti ini sangatlah tepat. Untuk mendapatkan kebenaran ilmiah maka tidak lain memang harus menggunakan pendekatan ilmiah yang metodis. Namun akan menjadi bermasalah, ketika kaidah berfikir ini digunakan untuk mengkaji masalah masalah teologi karena hampir sebagian besar ajaran agama bersifat dogmatis. Sementara kultur keilmiahan sendiri tidak bisa menerima sesuatu yang dogmatis. Sesuatu yang tidak bersifat empiris, kedudukanya sangat lemah bahkan ditolak. Akibatnya, terjadi suatu polarisasi yang tidak akan pernah bertemu satu sama lain. Sehingga munculah paham, agama adalah penghalang moderinisme.
Pola pemikiran liberal dalam islam awal mulanya dimunculkan oleh kelompok Mu’tazilah. Kelompok Mu’tazilah menafsirkan Al-Qur’an dan Hadist dengan mendasarkan pada akal mereka dan tidak memakai kaidah kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama’. Akibatnya, pemahaman terhadap agama menjadi salah dan berujung pada aqidah yang bermasalah.
Liberalisme islam semakin mendapat legitimasi ketika Kemal Pasha mengubah Kekhalifahan Ustmani menjadi Turki sekuler. Liberisasi yang dilakukan oleh Kemal Pasha bahkan sangat radikal hingga mengubah adzan dari bahasa arab menjadi bahasa Turki. Manuver dari Kemal Pasha ini seolah menjadi sumber inspirasi bagi penggagas liberalisme untuk semakin membawa paham liberal kedalam negara negara islam lain. Akarnya masih sama, untuk menjadi negara yang maju dan modern, maka agama islam harus di dekonstruksi dan dielaborasikan kembali menjadi prinsip-prinsip yang menunjang kemajuan, salah satunya adalah kebebasan dalam segala aspek.
Formulasi pertama yang digugat oleh kelompok liberal adalah syariat islam yang menurut perspektif logika berfikir liberal terkesan kaku, konservatif, tradisionalis bahkan diskriminatif. Syariat islam (menurut perspektif mereka) adalah representasi dari budaya arab masa lalu yang sudah seharusnya mendapatkan penyegaran kembali agar sesuai dengan kehidupan masyarakat modern saat ini. Oleh karenanya, syariat islam saat ini sudah tidak relevan. Mereka yang menggagas syariat islam adalah masyarakat primitif yang kuno dan tekungkung dalam pola pikir dogmatif, tidak ilmiah.
Penggugatan terhadap syariat islam pada akhirnya berlanjut dengan pengejawantahan poin poin yang dirasa tidak terakomodir oleh syariat secara proporsional. Misalnya saja tentang posisi wanita dalam syariat yang dirasa tidak adil karena ditempatkan “dibawah” laki-laki. Syariat ini dianggap tersifati dari budaya arab yang patriarki. Gugatan pada poin tersebut kemudian melahirkan prinsip prinsip baru seperti kesetaraan gender, feminisme, hingga kebolehan seorang wanita untuk menjadi imam sholat dan khotib jum’at bagi jamaah (meskipun didalamnya ada laki-laki baligh ataupun perempuan). Presumsi yang berlebihan terhadap syariat islam yang diasosiasikan terhadap budaya arab ini, kemudian menjadi indikator baru untuk menguji keabsahan hukum-hukum dalam syariat islam. Maka munculah istilah-istilah seperti arabisasi, islam arab, islam nusantara, salafisme, wahabisme, dll.
B. Kelemahan Dasar Berfikir Islam Liberal
Sebagaimana telah dibahas diatas sebelumnya, pola pikir liberalisme adalah mendasarkan pada rasio , humanis dan empirik. Konstruksi ini sangat tepat digunakan dibidang ilmu pengetahuan terutama sains. Namun konsep empirik pasti akan terbentur dengan konsep teologis yang mendasarkan pada prinsip keimanan. Dalam islam sendiri, ada hal-hal yang bisa dimaknai dengan pendekatan empirik namun ada pula hal-hal yang harus dimaknai dengan pendekatan keimanan. Karena unsur dasar keimanan adalah percaya (believe), sekalipun apa yang dipercayai tidak bisa dilihat secara inderawi.
Menolak unsur keimanan berimplikasi kepada ateisme, sementara menerima keimanan namun menomorsatukan rasio, humanisme dan empirisme semata berimplikasi kepada liberalisme. Unsur rasio dan empirik menghasilkan penafsiran penafsiran kitab suci secara kontekstual semata, mendasarkan kepada apriori yang tendensius dan emosional. Sementara unsur humanis yang berlebihan menghasilkan sikap permisif terhadap semua perilaku manusia sekalipun itu menyimpang. Sebagai contoh, dari unsur humanislah muncul paham semua agama sama benarnya, LGBT adalah fitrah manusia, pernikahan sesama jenis, pernikahan beda agama adalah legal, dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam
Referensi :
1. Husaini A, Al-Banjari H, Syamsi Ali M, Soekanto S. 2003. Membedah Islam Liberal. Bandung : Syaamil Media Cipta
2. Husaini A. 2015. Liberalisasi Islam di Indonesia. Jakarta : Gema Insani