Selasa, 26 Januari 2016

Bunga Rampai : Threshold-Potensial Aksi, salah satu kaidah dasar keberhasilan



 Setiap respon fisik dari tubuh kita tidak pernah terlepas dari peran saraf disana. Saraflah yang memperantarai tergeraknya otot, sehingga kita bisa melakukan berbagai aktivitas dengan baik. Karena peran saraf pula  kita bisa merasakan  nyeri, kepanasan, kedinginan, berdebar-debar, eurofia, ketenangan, dll. Dalam terminologi kedokteran, kita mengenal istilah threshold  ketika belajar tentang konduksi saraf. Yap, threshold didefinisikan sebagai potensial minimum pada membran neuron (sel saraf) untuk dapat membentuk potensial aksi . Untuk sukses menjalankan tugasnya, saraf harus bisa menghasilkan potensial aksi. Potensial aksi inilah yang nantinya membuat jari-jari tangan bisa mengetik, kaki terangkat ketika menginjak paku, jantung berdebar-debar menunggu hasil ujian, atau mata berkedip ketika ada debu. Potensial aksi (disebut juga impuls) ketika sudah terbentuk maka akan memicu hantaran saraf. Seketika impuls akan menjalar dengan sangat cepat menuju sel target (bisa sel saraf yang lain, otot, kelenjar, dsb), sehingga terbentuklah respon. Namun sebelum potensial aksi ini muncul, stimulus harus mampu melampaui thershold  sel saraf. Sebuah stimulus akan membuat kanal ion terbuka (saluran untuk masuk ion-ion seperti Na+, K+, Cl-) dan mempengaruhi potensial membran sel saraf. Ketika potensial membran ini melebihi thresholdnya, maka seketika itu potensial aksi akan terbentuk. Akan tetapi, selama potensial membran tidak pernah melebihi thersholdnya, maka selama itu tidak akan terbentuk potensial aksi dan dampaknya adalah tidak ada respon apapun dari tubuh alias nihil.
Jika boleh menyebutnya, maka banyak elemen dalam kehidupan ini memakai kaidah threshold dan potensial aksi. Secara normal, hasil-hasil yang nampak dalam setiap peristiwa kehidupan akan selalu tertaut aturan yang biasa kita sebut sebagai akumulasi, dan akumulasilah yang menjiwai kaidah threshold dan potensial aksi. Akumulasi perbendaharaan kata-kata menghasilkan manusia bisa berbicara, akumulasi pengetahuan tentang penglihatan menghasilkan manusia bisa menganalisa dengan baik tentang apa-apa yang dilihatnya. Hampir-hampir tidak ada peristiwa instan dalam kehidupan dunia ini melainkan semua pasti ada prosesnya. Bahkan Allah telah menetapkan bumi diciptakanya dalam enam masa. Menurut teorema bigbang, alam semestapun tercipta dari satu massa yang sangat-sangat padat dan terus menerus memadat hingga akhirnya meledak. Ada akumulasi, ada threshold, dan ada potensial aksi disana. Itulah kaidahnya.
Orang-orang sukses, orang-orang jenius, pastilah mereka pernah melalui masa-masa perjuangan yang menguras energi untuk mencapai “threshold’ mereka. Boleh jadi jalannya panjang dan berliku, namun manakala threshold tercapai, ‘boom’, tiba-tiba semua jalan yang  tadinya sulit terbuka dengan sendirinya dan terus melesat. Disaat itu, seseorang sudah memperoleh “potensial aksinya”. Jack Ma, salah seorang pengusaha sukses abad ini mengisahkan, ketika awal berdiri, Alibaba Express tidak mendapatkan keuntungan sepeserpun selama 3 tahun bekerja. Sama sekali tidak ada. Namun mereka terus melakukan pelayanan dengan integritas yang  sangat baik. Dan tiba-tiba setelah periode itu terlewati, Alibaba Express melejit jauh tak terbendung. Ternyata threshold Alibaba Express adalah perjuangan selama lebih dari 3 tahun tanpa menghasilkan keuntungan. Dan barulah setelah periode itu terlewati, “potensial aksi” nya muncul.
Saya yakin kita semua pernah mengalami yang demikian. Ada yang  sudah mendapatkan potensial aksinya, namun ada pula yang masih berjuang dalam masa thresholdnya. Tidak mengapa. Asalkan proses akumulasi tidak terhenti. Terus berjuang, terus berusaha. Meskipun demikian, kita sebagai umat muslim tidak boleh menganggap “potensial aksi” yang kita hasilkan semata-mata karena usaha kita saja dalam menjalani periode “threshold”. Tidak boleh mengatakan harta yang diperoleh itu karena kekayaan atau kepintaran kita saja, atau klo bahasa sekarang karena usaha kita saja, karena law of attraction. Tidak boleh demikian. Sekali lagi, karena ini di dunia, ada proses yang harus dijalani, ada proses akumulasi, threshold, dan potensial aksi. Semua memiliki garis takdirnya sendiri-sendiri. Kita dituntut untuk bersabar, berikhtiar, dan bertawakkal kepada Allah SWT. Hanya dengan proses itu, proses yang membuat seorang manusia mulia dibanding mahluk lainya.  End


Kamis, 21 Januari 2016

Jodoh itu Kompatibilias : Pilihlah Karena Agamanya !! (Part 2)




“....Pilihlah agamnya, niscaya engkau beruntung” (Rasulullah SAW). Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan kemarin dan masuk kepada bahasan memilih karena agamanya itu bagaimana maksudnya. Yang pertama jelas, islam. Karena itu syarat dasar. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al Baqarah 221).
Ayat diatas sudah sangat-sangatlah terang. Mengenai islam sendiri, persoalanya adalah banyak  yang mengaku agamanya islam, tapi rukun islamnya sebatas syahadat. Atau yang sekarang ngetren adalah masuk islam sebagai syarat nikah. Setelah itu bubrah. Kasus yang demikian lumayan banyak. Yang paling menyedihkan adalah masuk islam sebagai syarat nikah, lalu setelah nikah balik menjadi non islam. Kasus ini frekuensinya juga tidak sedikit Meski ada juga yang setelah masuk islam jadi istiqomah. Nahh dalam hal demikian maka perlu kehati-hatian dalam memilih.
            Sekarang konteksnya adalah sudah islam. Rukun islamnya juga hampir terpenuhi (biasanya kurang haji), dan rukum imanya juga hampir terpenuhi. Loh kok rukun iman hampir terpenuhi ? memangnya belum cukup sudah beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhirNya, dan qada qadrNya ? Kalau sudah beriman kepada keenam tadi, dengan menjalankan konsekuensi iman, jawabanya adalah imanya sudah sangat baik hanya belum “mumtaz”. hehe
Seperti yang telah diketahui, iman itu bercabang-cabang sebagaimana kekafiran pun juga bercabang-cabang. Ada cabang-cabang yang sangat pokok yang harus dipenuhi seseorang dan sangat menetukan statusnya apakah  iman atau tidak beriman (kafir) dan ada cabang  cabang keimanan yang apabila dipenuhi maka semakin baguslah ia. Rasulullah menerangkan iman itu ada 70an cabang, yang paling tinggi adalah Laillaha llallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Jadi, ukuran agama yang paling baik digunakan untuk memilih adalah ukuran keimanan beserta cabang-cabangnya. Cabangnya apa saja, kalau itu jawabanya sangat panjang. Silahkan membaca bukunya sendiri tenang cabang iman atau membaca makalah tentang 79 cabang iman dari ma’had adz-dzikr (adz-dzikr adalah kajian mahasiswa kedokteran di FK UNS yang diikuti oleh penulis *promosi).
Semakin terpenuhi cabang  keimanan seseorang maka semakin idealah dia untuk dikatakan “dipilih karena agamanya”. Terlebih, terpenuhinya cabang-cabang keimanan Insya Allah juga turut menentukan kesakinahan dan kemawaddahan. Kok bisa ? Sebagai contoh penulis ambilkan salah satu cabang  iman, cabang iman ke 14 yakni mencintai Rasulullah SAW. Seseorang yang mencintai Rasul maka paling tidak dia akan berusaha memposisikan diri agar dirinya bisa mencontoh akhlak-akhlak terpuji beliau. Rasulullah adalah laki-laki yang sangat menyayangi istri-istri beliau. Bisa dibaca bagaimana kemesraan beliau dengan bunda Aisyah r.a atau ketika bersama bunda Khatidjah atau bersama istri-istri beliau yang lainya. Kita masih ingat, bagaimana kisah Rasulullah bersama Khatidjah disaat periode awal-awal ketika amanah langit itu datang ke pundak Rasulullah. Sangat berat. Masih teringat bagaimana perkataan sejuk dari Bunda Khatijah kepada Rasulullah yang gemetaran paska melihat Jibril  pada waktu itu, “Tidak perlu khawatir, Allah tidak akan pernah menghinakanmu, sesungguhnya engkau orang yang menjaga tali silaturrahmi, senantiasa mengemban amanah, berusaha memperoleh sesuatu yang tiada, selalu menghormati tamu dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu.”
Pernah suatu saat Bunda Aisyah cemburu kepada Nabi karena beliau masih sering menyebut-nyebut nama bunda Khatijah. Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik? demikian ucap bunda Aisyah kepada beliau SAW. Beliau SAW pun menjawab Tidak, Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbangan, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Seseorang yang mencintai Rasul, sudah seharusnya akan meneladani pula bagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau. Ketika haji wada’, diakhir khutbah beliau yang sangat mengharukan tersebut, beliau menyampaikan “Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah atas nama Allah dan hubungan badan dengan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah.Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban terhadap isteri kalian dan isteri kalian mempunyai kewajiban terhadap diri kalian. Kewajiban mereka terhadap kalian adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras/tidak membahayakan. Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian yang baik kepada mereka.Maka perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia sekalian. Sesungguhnya aku telah menyampaikannya.”
Maka, semakin paham seseorang akan cabang-cabang keimanan, maka semakin layak dipilihlah dia. Jika dia seorang wanita, maka dia akan menjadi sebagaima Khatijah, sebagaimana Aisyah terhadap Rasulullah. Dan jika ia seorang laki-laki, maka dia akan menjadi sebagaimana Rasulullah terhadap Khatijah, Aisyah dan istri-istri beliau yang lain. . . (bersambung)
-Nanda E.S Sejati
Next bahasan: Memilih dengan ilmu untuk yang berilmu, serta mengapa harus yang berilmu (dari sudut pandang ilmu jiwa )

Selasa, 19 Januari 2016

Jodoh itu Kompatibilias : Pilihlah Karena Agamanya !! (Part 1)




sumber gambar : www.kaskus.co.id

Pernahkah kita mendengar kisah mengenai Pangeran Charles, Camellia dan Diana ? sebuah kisah yang mungkin akan selalu dikenang oleh masyarakat dunia. Kita masih ingat, meskipun mendapat badai kritikan dari berbagai pihak, pada akhirnya Pangeran Charles tetap lebih memilih bersama Camellia. Namun pertanyaanya adalah, bagaimana mungkin Pangeran Charles rela meninggalkan seorang Diana yang kalau boleh dibilang adalah salah satu wanita tercantik di abad tersebut demi seorang Camellia. Jika kita melihat dari ukuran kecantikan, jelas Camellia tidak ada apa-apanya dibanding Diana. But why ?  Mengapa seorang putri yang demikian cantik tidak bisa memenangkan hati Pangeran Charles. Ketika beliau ditanya tentang perihal tersebut, beliau menjawab “saya lebih bisa berbicara dengan Camellia.” Begitulah kira-kira gambaran singkat tentang kompatibilitas. Ini masalah hati, tidak semata-mata urusan fisik. Jikalau fisik adalah ukuran tentang sebuah hubungan, lantas mengapa banyak pernikahan artis yang notabene fisik mereka cantik dan ganteng berakhir dalam perceraian dalam kurun waktu yang singkat? Sementara, di rumah-rumah sederhana, berisikan orang-orang berwajah biasa, hubungan mereka bisa langgeng hingga akhir ? Sekali lagi, disanalah urusan hati. Absurd, rumit, dan sering tidak logis. Fisik memang sedikit bisa menyentuh hati, namun jiwa lebih dahsyat dalam menyentuh hati. Jiwa-lah yang memberi warna fisik. Fisik saja tanpa diwarnai jiwa hanya akan membuat manusia menjadi cyborg-cyborg berjalan. Bersama dengan Camellia, Charles merasa lebih nyaman, jiwa-nya lebih nyaman, sekalipun kecantikannya tidaklah seberapa. Diluar sana, ada banyak pasangan yang mungkin physically nampak tidak serasi, tapi siapa peduli. Karena jiwa-lah yang merasakan. Mereka kompatibel.
Kompatibilitas ditentukan oleh kepribadian, karakter, ilmu, gaya komunikasi, dan yang paling penting dalam persepektif muslim adalah ahlak. Ahlak-lah yang membawa khalifah Umar bin Khattab kepincut untuk menikahkan putranya dengan gadis anak seorang penjual susu yang begitu ihsan dalam memegang etika berdagang. Ahlak pula yang membuat hati seorang janda jelita nan kaya raya, Khatidjah  luluh pada Muhammad, seorang pemuda santun yang begitu terpuji dalam semua perilakunya. Jika demikian, lantas apa sesungguhnya ahlak itu ? “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan” demikian menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin.
Rasulullah SAW pernah menyampaikan, “Seorang itu wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung.
Apa mutiara hadist diatas ? salah satunya adalah masalah jiwa dan kompatibilitas. Harta, nasab, dan kecantikan adalah urusan fisik, sedang agama adalah urusan jiwa. “Pilihlah agamanya, niscaya kamu beruntung.” Mengapa harus agama ? karena agama adalah operating system (OS) manusia. Secanggih apapun hardware laptop kalau tanpa OS hanya akan menjadi persegi panjang tipis yang tidak berguna. Atau secanggih apapun hardware laptop kalau OSnya gak kompatibel ya fiturnya tidak akan maksimal. Itulah agama. Semakin mengenal agama maka semakin baguslah kualitas OSnya. Lalu apakah tidak diperbolehkan memilih karena harta, nasab dan cantik/gantengnya ? tentu saja boleh. Kalau agamanya sama-sama bagus, ada yang lebih cantik/ganteng atau lebih berharta, wajar dan boleh-boleh saja. Tapi bagaimana seandainya tidak memilih karena agama ? boleh juga karena konsekuensi ada di pilihan masing-masing, hanya saja Rasulullah tidak merekomendasikan yang demikian.
“Pilihlah agamanya, nisacaya kamu beruntung.” Rasul sudah menjamin demikian, sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana ukuran agama tersebut. Apakah sebatas sama-sama islam ? Padalah kalau dicermati, banyak orang islam yang belum mengerti islam. Hayo. Lalu memilih karena agamanya itu yang bagaimana, apakah sama-sama satu harokah ? (hehe, ini sensitif), lalu yang bagaimana ? Insya Allah akan berlanjut di Part 2 dengan dilengkapi dari sudut pandang ilmu medis. To be continue...........

-Nanda E.S Sejati

Sabtu, 16 Januari 2016

Pedang dan Kehormatan




Dua jenderal perang itu saling berhadapan. Satu dari pihak yang kalah, satu lagi adalah pihak yang menang. Sang Jenderal pemenang bisa saja saat itu juga memenggal kepala lawanya tersebut. Namun apa yang dikatakanya, “Raja tidak membunuh Raja.” Mereka adalah Salahuddin Al Ayubi dan Richard the Lionheart. Keduanya adalah rival, namun mereka saling menghormati. Sekalipun saat itu, Al-Ayubi bisa saja mengeksekusi Richard, namun dia tidaklah seorang Barbarian. Bahkan ketika Richard sakit, Al-Ayyubi mengirimkan dokter pribadinya untuk mengobati Richard. Sebuah persahabatan ditengah rivalitas. Perbedaan ideologis mengharuskan keduanya tidak akan pernah bersatu. Keduanya tetaplah lawan. Al-Ayyubi tetaplah seorang mujahid muslim dan Richard tetap seorang kristiani. Namun mereka berdua adalah Ksatria, seorang Ksatria sejati tahu bagaimana etika menghadapi Kstaria sejati lainya. Setidaknya, begitulah yang diajarkan dalam pertarungan pedang.
Dalam pertarungan pedang, sebelum kedua pasukan bertempur, maka kedua jenderal perang akan saling berhadapan. Sedikit berdialog untuk menawarkan kesepakatan, tunduk atau perang. Atau sebelum perang, diadakanlah pertarungan satu lawan satu dari perwakilan masing masing pihak. Begitulah etika pertempuran pedang. Entah mengapa secara alami, etika tersebut hampir sama didunia. Seorang samurai, justru akan merasa hina membunuh samurai lainya yang tidak bersenjata.
Beberapa hal tersebut itulah mungkin yang membuat mengapa pertarungan pedang terasa sangat berbeda dengan pertarungan senjata api. Kita mengenal pelbagai pedang legendaris, namun adakah senjata api legendaris ? mungkin ada, tapi kurang terlihat. Beberapa pedang memiliki nama spesial, namun adakah senjata api yang memiliki nama spesial ? mungkin juga ada, namun tidak sekarismatis pedang.
Pedang dan kehormatan itu dekat. Karena pedang mengharuskan kita untuk melihat siapa yang memakainya. Semua pedang kualitas ketajamannya hampir sama, sehingga kemampuan pemakainya-lah yang menentukan. Itulah mengapa pedang begitu karismatis. Karena ia juga mewakili sifat pemakainya, yakni sebagai seorang Barbar atau seorang Ksatria. Sedangkan senjata api, adalah kebalikan dari pedang.
Pedang mengajarkan kehormatan. Beberapa menyebut islam disebarkan dengan pedang. Agaknya mereka kurang paham, bahkan agama lain disebarkan dengan penjajahan dan pembantaian. Mengapa tidak fair dalam menilai ? Adalah sebuah kewajaran dalam sebuah peperangan, pihak yang kalah akan menjadi terhina, wanita dan anak anak yang tertawan akan menjadi budak. Itu pasti terjadi dalam sebuah peperangan. Romawi, Persia, Sparta, Troya, Tartar dan Muslimin. Ketika pasukan memenangkan pertarungan maka rampasan perang dan budak itu adalah hak. Namun bedanya Islam memperlakukan itu dengan adil. Islam melarang membunuh anak-anak, wanita, orang tua,  musuh yang menyerah, islam melarang berlebih-lebihan dalam membunuh, memperlakukan budak dengan baik.  Namun cobalah lihat bagaimana bangsa Tartar, Sparta, Persia, Troya mereka membunuh dengan membabi buta, bahkan bayi pun dibunuhnya.
Para Ksatria bertarung untuk kehormatan. Mereka bertarung untuk keabadian nama, untuk tanah airnya, untuk sukunya, untuk rajanya, untuk dewa-dewa, dan untuk tuhan mereka. Sedangkan pasukan muslim, satu-satunya alasan untuk bertarung adalah untuk jihad fii sabilillah karena Allah. Tidak ada yang lain. Mereka membenci perang, namun ketika terjadi perang, mereka ikhlas untuk berperang.
Sekali lagi, para Ksatria pedang sejati, sangat menjaga kehormatannya. Mereka kuat, namun memiliki etika yang tinggi dalam berperang. Keberanian yang tinggi dalam berperang.  Mereka teguh dalam rivalitas namun saling menghormati. Sebagaiama Al-Ayyubi dengan The LionHeart, Makoto Shishio dengan Kensin Himura, Achilles dengan Hector, Khairuddin Pasha dengan Andrea Doria. Begitulah pedang, memilki seni membentuk kehormatan.

Nanda E.S Sejati

Minggu, 10 Januari 2016

Sungguh, Musa-pun tidak pernah tahu, laut kan terbelah dari tongkatnya



Ada satu kisah besar yang mengharukan di dalam Al-qur’an disamping ahsanal qasas di surah Yusuf atau kisah ketauhidan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Kisah itu tidak lain adalah kisah Musa Alaihissalam Kalimullah. Nabi yang sangat kuat, bahkan sampai-sampai bola mata malaikat mautpun copot karena tamparannya.
Dialah Musa, salah seorang Nabi yang diistimewakan karena ketabahan yang luar biasa. Sebagaimana telah kita ketahui, Musa diutus untuk memberi peringatan kepada Fir’aun yang telah melampaui batas. Musa adalah kebenaran mimpi Fir’aun, sekalipun dia telah mencoba untuk membunuh semua bayi laki-laki yang lahir. Kisah sesungguhnya Musa diawali ketika tamparan yang dia layangkan tanpa sengaja membunuh orang Qibti yang ditamparnya tersebut.  Dia Musa terpaksa harus meninggalkan kotanya karena tentara Fir’aun hendak mengqishashnya atas peristiwa itu. Nampaknya memang begitulah rencana Allah untuk menguatkan Musa sebelum amanah besar tersebut datang. Selama beberapa tahun beberapa tahun berada dalam bimbingan Nabi Syu’aib, amanah agung itupun datang. Melalui suara dari langit yang akan melemaskan siapapun yang mendengarnya, “Yaa Musa, Inni Anna Robbuka, Fakhla’ na’laika. Innaka bilwaadil muqaddasi tuwaa (QS 20 : 12), wasthona’tuka linafsi. “ (QS 20 :41)
Kini pangeran kerajaan “terbuang” tersebut, harus kembali ke negerinya untuk menyampaikan Kalimat Haq kepada tidak lain dan tidak bukan adalah kepada Fir’aun, the emperor. Berat sungguh dirasa amanah tersebut. Dengan statusnya yang dicap sebagai DPO seluruh mesir, maka bukan hal yang mudah untuk kembali pada negeri yang telah membesarkannya tersebut. Satu-satunya yang menjadi bekal Musa untuk menemui Fir’aun adalah kalimat-Nya “sanasyudu ‘adhuka bi akhika wa naj’alu lakuma sulthoonaa...” (QS 28 : 35)
Di hadapan Fir’aun sesungguhnya rasa takut Musa-pun masih ada, bahkan ketika tongkat-tongkat penyihir kerajaan di lemparkan di depannya berubah menjadi ular, Musa masih tidak tahu harus bagaimana. Sekalipun sebelumnya sudah pernah diperlihatkan kepada Musa di bukit Tuwa, ketika tongkat tersebut berubah menjadi ular besar. Hingga akhirnya datanglah perintah dari Allah “Lemparkan apa yang ada di tangan kananmu, niscaya dia akan menelan apa yang mereka buat.”
Ketika akhirnya Musa-lah yang menang, dan para penyihir kerajaan bertaubat dan mengucap kalimat tauhid. Tiba tiba Fir’aun menjadi murka dan menuduh ada konspirasi antara Musa dan para penyihir tersebut.  Persis seperti yang terjadi saat ini, dimana ketika semua bukti telah terang maka senjata terakhir mereka yang memusuhi islam adalah dengan menuduh dan memberi label. Bahkan Al-qur’an dan buku-buku islami dijadikan alat bukti shahih untuk memberi label “terduga teroris”. Tidak heran, memang beginitulah cara klasik musuh para nabi, yakni labeling. Wa kadzalika ja’alna likulli nabiyyin ‘aduwwan syayatinal insi wal jinni (dan demikianlah untuk setiap para nabi kami jadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin).
Dalam kondisi kalah dan dipermalukan, bukanya beriman justru Fir’aun semakin sombong dan bermaksud menghabisi Musa dan bani Israel. Lalu datanglah perintah dari Allah untuk Musa beserta bani israel agar segera meninggalkan Mesir pada malam hari. Hingga singkat cerita pelarian tersebut harus terhenti didepan laut merah. Sementara di belakang mereka Fir’aun dan pasukan kalvalerinya semakin mendekat. Dalam kondisi yang demikian, disanalah iman benar-benar diuji. Disaat itu, Musa masih tidak tahu, harus berbuat apa sekalipun tongkat ajaibnya berada di tangan. Sekalipun dia menyaksikan sendiri bagaimana tongkat tersebut pernah berubah menjadi mahluk hidup. Namun saat itu dia benar benar tidak tahu. Tidak juga terlintas dibenaknya untuk berinovasi dengan tongkat tersebut karena yang dia tahu memang itu hanyalah tongkat yang sejak dulu dipakai untuk menggembala ternaknya, dan pada satu episode pernah berubah menjadi ular. Hanya itu. Kini yang ada dihadapanya adalah laut, bukan lagi ular. Dia hanya bisa berdoa dan pasrah dengan takdir yang akan akan tejadi. Qadarallah, disaat titik nadir, lalu datanglah petunjuk, “Pukulkanlah tongkat itu kelaut.” Dan tiba tiba air lautpun terbelah, dihamparkan didepanya sebuah jalan setapak di tengah laut yang hanya diizinkan untuk Musa dan kaumnya hingga selamatlah mereka dari kejaran Fir’aun. Dan binasalah Fir’aun beserta bala tentaranya yang sombong, itulah balasan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah Robbul ‘alamin.
Jadi sejak awal, Musa tidak pernah tahu, bahwa kelak, ketika dihadapan Fir’aun, tongkatnya berubah menjadi ular besar yang meruntuhkan segala tipu daya. Musa juga tidak pernah tahu bahwa kelak, tongkatnya dapat memukul lautan hingga terbelah airnya. Musa tidak pernah tahu, begitupun para nabi lainya. Mereka hanya percaya, hingga pada akhirnya dititik nadir, Allah tunjukan kuasa-Nya. Allah tidak menuntut kita untuk tahu hakikat perintah-Nya, Dia hanya menuntut kita untuk percaya dan melaksanakanya. Lalu biarlah Dia yang mengatur semuanya. (Nanda E.S Sejati)