“....Pilihlah
agamnya, niscaya engkau beruntung” (Rasulullah SAW). Tulisan ini adalah
lanjutan dari tulisan kemarin dan masuk kepada bahasan memilih karena agamanya
itu bagaimana maksudnya. Yang pertama jelas, islam. Karena itu syarat dasar. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
(QS Al Baqarah 221).
Ayat
diatas sudah sangat-sangatlah terang. Mengenai islam sendiri, persoalanya adalah
banyak yang mengaku agamanya islam, tapi
rukun islamnya sebatas syahadat. Atau yang sekarang ngetren adalah masuk islam
sebagai syarat nikah. Setelah itu bubrah. Kasus yang demikian lumayan banyak.
Yang paling menyedihkan adalah masuk islam sebagai syarat nikah, lalu setelah
nikah balik menjadi non islam. Kasus ini frekuensinya juga tidak sedikit Meski
ada juga yang setelah masuk islam jadi istiqomah. Nahh dalam hal demikian maka
perlu kehati-hatian dalam memilih.
Sekarang konteksnya adalah sudah islam. Rukun islamnya
juga hampir terpenuhi (biasanya kurang haji), dan rukum imanya juga hampir
terpenuhi. Loh kok rukun iman hampir terpenuhi ? memangnya belum cukup sudah
beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya,
hari akhirNya, dan qada qadrNya ? Kalau sudah beriman kepada keenam tadi,
dengan menjalankan konsekuensi iman, jawabanya adalah imanya sudah sangat baik
hanya belum “mumtaz”. hehe
Seperti
yang telah diketahui, iman itu bercabang-cabang sebagaimana kekafiran pun juga
bercabang-cabang. Ada cabang-cabang yang sangat pokok yang harus dipenuhi seseorang
dan sangat menetukan statusnya apakah
iman atau tidak beriman (kafir) dan ada cabang cabang keimanan yang apabila dipenuhi maka
semakin baguslah ia. Rasulullah menerangkan iman itu ada 70an cabang, yang
paling tinggi adalah Laillaha llallah, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri dari jalan. Jadi, ukuran agama yang paling baik digunakan
untuk memilih adalah ukuran keimanan beserta cabang-cabangnya. Cabangnya apa
saja, kalau itu jawabanya sangat panjang. Silahkan membaca bukunya sendiri
tenang cabang iman atau membaca makalah tentang 79 cabang iman dari ma’had adz-dzikr
(adz-dzikr adalah kajian mahasiswa kedokteran di FK UNS yang diikuti oleh
penulis *promosi).
Semakin
terpenuhi cabang keimanan seseorang maka
semakin idealah dia untuk dikatakan “dipilih karena agamanya”. Terlebih, terpenuhinya
cabang-cabang keimanan Insya Allah juga turut menentukan kesakinahan dan
kemawaddahan. Kok bisa ? Sebagai contoh penulis ambilkan salah satu cabang iman, cabang iman ke 14 yakni mencintai
Rasulullah SAW. Seseorang yang mencintai Rasul maka paling tidak dia akan
berusaha memposisikan diri agar dirinya bisa mencontoh akhlak-akhlak terpuji
beliau. Rasulullah adalah laki-laki yang sangat menyayangi istri-istri beliau.
Bisa dibaca bagaimana kemesraan beliau dengan bunda Aisyah r.a atau ketika
bersama bunda Khatidjah atau bersama istri-istri beliau yang lainya. Kita masih
ingat, bagaimana kisah Rasulullah bersama Khatidjah disaat periode awal-awal
ketika amanah langit itu datang ke pundak Rasulullah. Sangat berat. Masih
teringat bagaimana perkataan sejuk dari Bunda Khatijah kepada Rasulullah yang
gemetaran paska melihat Jibril pada waktu
itu, “Tidak perlu khawatir, Allah tidak
akan pernah menghinakanmu, sesungguhnya engkau orang yang menjaga tali
silaturrahmi, senantiasa mengemban amanah, berusaha memperoleh sesuatu yang tiada,
selalu menghormati tamu dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu.”
Pernah
suatu saat Bunda Aisyah cemburu kepada Nabi karena beliau masih sering
menyebut-nyebut nama bunda Khatijah. Apakah
tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya
dengan yang lebih baik? demikian ucap bunda Aisyah kepada beliau SAW. Beliau
SAW pun menjawab “Tidak, Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia adalah seorang wanita yang terbaik,
karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam
kebimbangan, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia
telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya
terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak
ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Seseorang yang mencintai Rasul, sudah seharusnya
akan meneladani pula bagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau. Ketika
haji wada’, diakhir khutbah beliau yang sangat mengharukan tersebut, beliau menyampaikan
“Takutlah kepada Allah dalam bersikap
kepada kaum wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah atas
nama Allah dan hubungan badan dengan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian
dengan nama Allah.Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban terhadap isteri
kalian dan isteri kalian mempunyai kewajiban terhadap diri kalian. Kewajiban
mereka terhadap kalian adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang
tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal demikian,
maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras/tidak membahayakan.
Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian
yang baik kepada mereka.Maka perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia
sekalian. Sesungguhnya aku telah menyampaikannya.”
Maka, semakin paham seseorang akan cabang-cabang
keimanan, maka semakin layak dipilihlah dia. Jika dia seorang wanita, maka dia
akan menjadi sebagaima Khatijah, sebagaimana Aisyah terhadap Rasulullah. Dan jika
ia seorang laki-laki, maka dia akan menjadi sebagaimana Rasulullah terhadap
Khatijah, Aisyah dan istri-istri beliau yang lain. . . (bersambung)
-Nanda E.S Sejati
Next bahasan: Memilih dengan ilmu untuk yang berilmu, serta mengapa harus
yang berilmu (dari sudut pandang ilmu jiwa )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar