Dua jenderal perang itu saling
berhadapan. Satu dari pihak yang kalah, satu lagi adalah pihak yang menang.
Sang Jenderal pemenang bisa saja saat itu juga memenggal kepala lawanya
tersebut. Namun apa yang dikatakanya, “Raja tidak membunuh Raja.” Mereka adalah
Salahuddin Al Ayubi dan Richard the Lionheart. Keduanya adalah rival, namun
mereka saling menghormati. Sekalipun saat itu, Al-Ayubi bisa saja mengeksekusi
Richard, namun dia tidaklah seorang Barbarian. Bahkan ketika Richard sakit,
Al-Ayyubi mengirimkan dokter pribadinya untuk mengobati Richard. Sebuah
persahabatan ditengah rivalitas. Perbedaan ideologis mengharuskan keduanya
tidak akan pernah bersatu. Keduanya tetaplah lawan. Al-Ayyubi tetaplah seorang mujahid
muslim dan Richard tetap seorang kristiani. Namun mereka berdua adalah Ksatria,
seorang Ksatria sejati tahu bagaimana etika menghadapi Kstaria sejati lainya.
Setidaknya, begitulah yang diajarkan dalam pertarungan pedang.
Dalam pertarungan pedang, sebelum
kedua pasukan bertempur, maka kedua jenderal perang akan saling berhadapan.
Sedikit berdialog untuk menawarkan kesepakatan, tunduk atau perang. Atau
sebelum perang, diadakanlah pertarungan satu lawan satu dari perwakilan masing
masing pihak. Begitulah etika pertempuran pedang. Entah mengapa secara alami,
etika tersebut hampir sama didunia. Seorang samurai, justru akan merasa hina
membunuh samurai lainya yang tidak bersenjata.
Beberapa hal tersebut itulah
mungkin yang membuat mengapa pertarungan pedang terasa sangat berbeda dengan
pertarungan senjata api. Kita mengenal pelbagai pedang legendaris, namun adakah
senjata api legendaris ? mungkin ada, tapi kurang terlihat. Beberapa pedang
memiliki nama spesial, namun adakah senjata api yang memiliki nama spesial ?
mungkin juga ada, namun tidak sekarismatis pedang.
Pedang dan kehormatan itu dekat.
Karena pedang mengharuskan kita untuk melihat siapa yang memakainya. Semua
pedang kualitas ketajamannya hampir sama, sehingga kemampuan pemakainya-lah
yang menentukan. Itulah mengapa pedang begitu karismatis. Karena ia juga
mewakili sifat pemakainya, yakni sebagai seorang Barbar atau seorang Ksatria. Sedangkan
senjata api, adalah kebalikan dari pedang.
Pedang mengajarkan kehormatan.
Beberapa menyebut islam disebarkan dengan pedang. Agaknya mereka kurang paham,
bahkan agama lain disebarkan dengan penjajahan dan pembantaian. Mengapa tidak
fair dalam menilai ? Adalah sebuah kewajaran dalam sebuah peperangan, pihak yang
kalah akan menjadi terhina, wanita dan anak anak yang tertawan akan menjadi
budak. Itu pasti terjadi dalam sebuah peperangan. Romawi, Persia, Sparta, Troya,
Tartar dan Muslimin. Ketika pasukan memenangkan pertarungan maka rampasan
perang dan budak itu adalah hak. Namun bedanya Islam memperlakukan itu dengan
adil. Islam melarang membunuh anak-anak, wanita, orang tua, musuh yang menyerah, islam melarang
berlebih-lebihan dalam membunuh, memperlakukan budak dengan baik. Namun cobalah lihat bagaimana bangsa Tartar,
Sparta, Persia, Troya mereka membunuh dengan membabi buta, bahkan bayi pun
dibunuhnya.
Para Ksatria bertarung untuk
kehormatan. Mereka bertarung untuk keabadian nama, untuk tanah airnya, untuk
sukunya, untuk rajanya, untuk dewa-dewa, dan untuk tuhan mereka. Sedangkan
pasukan muslim, satu-satunya alasan untuk bertarung adalah untuk jihad fii
sabilillah karena Allah. Tidak ada yang lain. Mereka membenci perang, namun
ketika terjadi perang, mereka ikhlas untuk berperang.
Sekali lagi, para Ksatria pedang
sejati, sangat menjaga kehormatannya. Mereka kuat, namun memiliki etika yang
tinggi dalam berperang. Keberanian yang tinggi dalam berperang. Mereka teguh dalam rivalitas namun saling
menghormati. Sebagaiama Al-Ayyubi dengan The LionHeart, Makoto Shishio dengan Kensin
Himura, Achilles dengan Hector, Khairuddin Pasha dengan Andrea Doria. Begitulah
pedang, memilki seni membentuk kehormatan.
Nanda E.S Sejati
Nanda E.S Sejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar