Sabtu, 16 Januari 2016

Pedang dan Kehormatan




Dua jenderal perang itu saling berhadapan. Satu dari pihak yang kalah, satu lagi adalah pihak yang menang. Sang Jenderal pemenang bisa saja saat itu juga memenggal kepala lawanya tersebut. Namun apa yang dikatakanya, “Raja tidak membunuh Raja.” Mereka adalah Salahuddin Al Ayubi dan Richard the Lionheart. Keduanya adalah rival, namun mereka saling menghormati. Sekalipun saat itu, Al-Ayubi bisa saja mengeksekusi Richard, namun dia tidaklah seorang Barbarian. Bahkan ketika Richard sakit, Al-Ayyubi mengirimkan dokter pribadinya untuk mengobati Richard. Sebuah persahabatan ditengah rivalitas. Perbedaan ideologis mengharuskan keduanya tidak akan pernah bersatu. Keduanya tetaplah lawan. Al-Ayyubi tetaplah seorang mujahid muslim dan Richard tetap seorang kristiani. Namun mereka berdua adalah Ksatria, seorang Ksatria sejati tahu bagaimana etika menghadapi Kstaria sejati lainya. Setidaknya, begitulah yang diajarkan dalam pertarungan pedang.
Dalam pertarungan pedang, sebelum kedua pasukan bertempur, maka kedua jenderal perang akan saling berhadapan. Sedikit berdialog untuk menawarkan kesepakatan, tunduk atau perang. Atau sebelum perang, diadakanlah pertarungan satu lawan satu dari perwakilan masing masing pihak. Begitulah etika pertempuran pedang. Entah mengapa secara alami, etika tersebut hampir sama didunia. Seorang samurai, justru akan merasa hina membunuh samurai lainya yang tidak bersenjata.
Beberapa hal tersebut itulah mungkin yang membuat mengapa pertarungan pedang terasa sangat berbeda dengan pertarungan senjata api. Kita mengenal pelbagai pedang legendaris, namun adakah senjata api legendaris ? mungkin ada, tapi kurang terlihat. Beberapa pedang memiliki nama spesial, namun adakah senjata api yang memiliki nama spesial ? mungkin juga ada, namun tidak sekarismatis pedang.
Pedang dan kehormatan itu dekat. Karena pedang mengharuskan kita untuk melihat siapa yang memakainya. Semua pedang kualitas ketajamannya hampir sama, sehingga kemampuan pemakainya-lah yang menentukan. Itulah mengapa pedang begitu karismatis. Karena ia juga mewakili sifat pemakainya, yakni sebagai seorang Barbar atau seorang Ksatria. Sedangkan senjata api, adalah kebalikan dari pedang.
Pedang mengajarkan kehormatan. Beberapa menyebut islam disebarkan dengan pedang. Agaknya mereka kurang paham, bahkan agama lain disebarkan dengan penjajahan dan pembantaian. Mengapa tidak fair dalam menilai ? Adalah sebuah kewajaran dalam sebuah peperangan, pihak yang kalah akan menjadi terhina, wanita dan anak anak yang tertawan akan menjadi budak. Itu pasti terjadi dalam sebuah peperangan. Romawi, Persia, Sparta, Troya, Tartar dan Muslimin. Ketika pasukan memenangkan pertarungan maka rampasan perang dan budak itu adalah hak. Namun bedanya Islam memperlakukan itu dengan adil. Islam melarang membunuh anak-anak, wanita, orang tua,  musuh yang menyerah, islam melarang berlebih-lebihan dalam membunuh, memperlakukan budak dengan baik.  Namun cobalah lihat bagaimana bangsa Tartar, Sparta, Persia, Troya mereka membunuh dengan membabi buta, bahkan bayi pun dibunuhnya.
Para Ksatria bertarung untuk kehormatan. Mereka bertarung untuk keabadian nama, untuk tanah airnya, untuk sukunya, untuk rajanya, untuk dewa-dewa, dan untuk tuhan mereka. Sedangkan pasukan muslim, satu-satunya alasan untuk bertarung adalah untuk jihad fii sabilillah karena Allah. Tidak ada yang lain. Mereka membenci perang, namun ketika terjadi perang, mereka ikhlas untuk berperang.
Sekali lagi, para Ksatria pedang sejati, sangat menjaga kehormatannya. Mereka kuat, namun memiliki etika yang tinggi dalam berperang. Keberanian yang tinggi dalam berperang.  Mereka teguh dalam rivalitas namun saling menghormati. Sebagaiama Al-Ayyubi dengan The LionHeart, Makoto Shishio dengan Kensin Himura, Achilles dengan Hector, Khairuddin Pasha dengan Andrea Doria. Begitulah pedang, memilki seni membentuk kehormatan.

Nanda E.S Sejati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar